Selasa, 17 Desember 2013

Baritu Raya



Ulun Tiba, Yaku Pergi

Oleh : Saipulah
Bahasa Bakumpai yang tumbuh berkembang di Marabahan, ibukota kabupaten Barito Kuala, lalu menyebar ke Kalteng hingga Kaltim. Namun, di tempat berkembangnya, bahasa yang sangat mirip dengan bahasa yang digunakan orang Dayak Ngaju ini, mengalami perubahan. Bahkan tergusur secara pelan namun pasti.
Hal ini terjadi karena toleransi orang Bakumpai yang tinggi terhadap orang lain yang tidak bisa menggunakan bahasa Bakumpai “Di tempat kita ada yang malu menggunakan bahasa Bakumpai, alasannya apabila ada orang ketiga,” kata Hidayat (50), pemerhati Bahasa Bakumpai, kepada Urbana, Senin (13/12).
Pria yang tinggal di Basahap Halus, Marabahan ini, melihat beberapa penyebab lain yang mempengaruhi perkembangan Bahasa Bakumpai. Menurutnya, perubahan terjadi dalam bahasa Bakumpai karena menyerap bahasa lain, seperti bahasa Banjar. Bahasa Bakumpai tidak mengenal istilah ulun dan pian, tapi dipakai sebagai pengganti ikau dan yaku dengan alasan lebih sopan.
Warga Desa Jambu Baru, kec. Kuripan, Kab. Barito Kuala masih menjaga tradisi berbahasa Bakumpai
Penggunaan yaku dan ikau memang tidak mengenal status, bisa dipakai orang tua kepada yang muda. Atau sebaliknya, yang muda dapat menggunakan kepada yang lebih tua.
Perubahan lain misalnya terjadi pada istilah eje kabawak (satu biji)yang jarang digunakan dalam keseharian. Istilah ini diganti dengan eje kabuting yang merupakan serapan dari bahasa Banjar. Hidayat memberi contoh yang lain, seperti ini (nenek) menjadi nini, ini tuwe (kakek) menjadi kai, eje tatu (sepupu) menjadi sapupu sakali.
Pria yang aktif mengikuti diskusi komunitas Dayak maupun Dayak Bakumpai difacebook ini menyadari, ada istilah bahasa lain yang diserap karena memang tidak ada dalam bahasa Bakumpai. Terima kasih tidak ada dalam bahasa Bakumpai, bahkan rumpun bahasa Ngaju pada umumnya. Termasuk dalam bahasa Siang-Murung tidak ditemukan padanan kata terima kasih. Istilah sidin juga diserap ke dalam bahasa Bakumpai, lanjut Hidayat, karena tidak ada padanan kata kalau pun dicocokkan adalah uluh bakas, tapi memiliki makna yang berbeda.
Tidak hanya itu, ada beberapa istilah Bakumpai mulai jarang digunakan. Hidayat mencontohkan. “Istilah sarak saru yakni keadaan sunyi antara shalat magrib dan isya sudah jarang digunakan. Bahkan kalau orang Bakumpai menggunakan katamanyeneh (melihat dengan teliti) ditertawakan sesama Bakumpai sendiri, karena kata itu sudah menjadi klasik,” katanya.
Walaupun demikian, menurut Hidayat, Bahasa Bakumpai tidak akan punah, “Saya kira tidak akan sejauh itu.Yang jelas orisinalitas Bahasa Bakumpai akan berkurang” katanya.
Namun yang paling mengkhawatirkan Hidayat, adalah penggunaan bahasa Bakumpai yang telah jarang digunakan di kalangan keluarga.“Padahal ayah dan ibunya orang Bakumpai,ternyata di rumah mereka mengajarkan anaknya bahasa Banjar” kata Hidayat.
Ia menyayangkan karena alasan orang tua agar mudah bergaul di sekolah, tapi bahasa sendiri tidak dikuasai.Kekhawatiran yang sama dialami Andrianopel Samudera, tokoh Bakumpai yang tinggal di Kayu Tangi, Banjarmasin. “Saya melihat ada orang yang malu berbahasa Bakumpai. Alasannya suku-bangsa Bakumpai tidak memiliki tammadhun. Tidak ada sejarah, tidak ada kerajaan. Pikiran mereka sampai ke situ rupanya,” kata mantan Ketua Kerukunan Keluarga Bakumpai ini kepada Urbana, Minggu (12/12).
Walau demikian, Adrianopel tetap bangga berbahasa Bakumpa. Ia beralasan dengan berbahasa Bakumpai itu justru menunjukkan status religius orang Bakumpai yang berbeda dengan ke-Islaman suku-bangsa lain. Mantan anggota DPRD Propinsi Kalimantan Selatan ini mengingatkan di Bakumpai (sebutan lain kota Marabahan), dikenal penyebaran agama Islam.
Tahun 1955, lanjutnya, di Bakumpai terkenal memiliki banyak pengajian. Selain menggunakan bahasa Melayu, guru yang mengajarkan juga menggunakan bahasa Bakumpai. Bahkan waktu itu, secara simbolis adat orang Bakumpai cukup keras. Dilarang menggunakan kopiah miring, karena dianggap sombong. Dilarang memakai celana pendek, alasannya sederhana saja, tidak sah menyembelih ayam.“Sekarang malah perempuan yang bercelana pendek,” katanya.
Hidayat dan Andriannopel, sama-sama mengingatkan bahwa orang Bakumpai semboyan yang memiliki makna mendalam. Ela mikeh murik kiham (Jangan takut mudik melalui riam) yang bermakna pantang menyerah menghadapi tantangan. Kesetiaan orang Bakumpai dalam berteman pun dinyatakan dengan semboyan dalas matei mahentang tulang (lebih mati menggendong tulang), maknanya tidak akan meninggalkan teman yang dalam kesusahan.
***
Sebenarnya usaha melestarikan bahasa Bakumpai telah dilakukan oleh kalangan ahli maupun dari kalangan orang Bakumpai sendiri. Ibrahim dkk menulis buku berjudul Bahasa Bakumpai (1979), H Mursani dari Mangkahui Kalimantan Tengah, dalam naskah ketik menulis Silsilah Suku Dayak Bakumpai Suku Dayak Siang Suku Dayak Murung (2002), ia juga menulis Syair Orang Bakumpai Riwayat Patih Bahandang Balau dan Kerajaan Banjar (2009) editor Setia Budhi. Baduani menulis buku Struktur Bahasa, dan identitas Bakumpai (2005) editor Setia Budhi. Rangga menulis kamus Bahasa Bakumpai (2007).
***
Untungnya di kalangan anak muda menganggap Bahasa Bakumpai masih lestari. Bagi Alfian, lelaki kelahiran Marabahan tahun 1982 itu, anak-anak muda tetap mempertahankan bahasa Bakumpai. “Saya hetang (ngotot) saja berbahasa Bakumpai dengan teman di kampus,” kata Alfian, mahasiswa IAIN Antasari.
Menurutnya, akan terasa dekat kalau berbahasa Bakumpai walaupun sebelumnya belum saling mengenal dan belum pernah bertemu. Kesannya langsung dekat seperti sudah akrab, sesama suku (Bakumpai). “Kesamaan bahasa itu mempengaruhi kedekatan juga,” kata Alfian bangga.
Menurut Alfian, ada bahasa Bakumpai malah diserap penutur bahasa lain dalam percakapan sehari, seperti di kantor-kantor. “Biasanya kalau mereka mengajak makan dan minum akan mengatakan, “kuman helu itah” atau “mihupan helu yu,” katanya. Meski begitu, ia juga tidak menampik ada penutur Bakumpai merasa malu berbahasa Bakumpai.“Misalnya sesama Bakumpai. Dia bahasa Banjar terus, meskipun saya ngomong dengannya dalam bahasa Bakumpai. Akhirnya saya menurut apa maunya dia saja” ujar Alfian.
Pengalaman berbeda dirasakan Fauzi, mahasiswa dari Tabukan, Barito Kuala. Sebelumnya ia tidak bisa berbahasa Bakumpai. Pergaulan dengan teman-teman di sekolah dan di kosnya di pasar Wangkang, Marabahan, membuatnya menguasai bahasa Bakumpai tidak sampai satu tahun. “Saking berminatnya saya belajar bahasa Bakumpai, setiap orang yang lewat saya tegur kan kueh ikau? Padahal cuma kalimat itu yang saya kuasai’” kata Fauzi yang menjabat sebagai Ketua Asrama Mahasiswa Batola.

Nilai Mansan dalam Tradisi Intelektual Bakumpai

mansan-2
Bersiap-siap untuk bekerja.
Dalam bahasa Bakumpai dikenal kata atau istilah mansan yang secara sederhana diartikan menetap sementara untuk bekerja. Namun, istilah ini barangkali mulai asing karena jarang digunakan apalagi oleh penutur Bakumpai yang tinggal di daerah perkotaan. Aktivitas mansan tetap dilakukan orang Bakumpai yang tinggal di pedesaan dan dalam kehidupan sehari-harinya mengolah SDA. Kata mansanmulai terbatas penggunaannya, padahal suatu bahasa akan hilang atau setidaknya mengalami perubahan apabila satu persatu istilah-istilah yang terkandung di dalamnya jarang digunakan, apalagi tidak diikat dalam sebuah kamus. Begitu pula dengan istilah mansan, saya tidak menemukannya dalam kamus Bakumpai Indonesia (lihat Kawi, Dj., 1985; Rangga, 2007).
mansan-1
Hubung (Pondokan sederhana) tempat istirahat selama mansan.
Penggunaan istilah mansan dapat digunakan untuk binatang dan manusia. Misalnya, manuk mansan hunjun bandat (ayammansan di atas lumbung padi). Kalimat ini menunjukkan ayam menetap sementara di atasbandat (lumbung padi). Penggunaan untuk manusia misalnya apa dengan uma ulun telu andau tuh mansan kan padang (ayah dan ibu saya sudah tiga hari ini pergi mansan ke tempat kerja). Dua penggunaan mansanmenunjukkan arti berbeda. Bagi binatang istilah mansan menunjukkan aktivitas menetap sementara yang bukan di tempat asalnya, sedangkan bagi manusia meskipun juga menetap sementara, tapi memiliki aktivitas bekerja.
Orang Bakumpai pergi mansan bertujuan untuk mengumpulkan purun, ikan, rotan, pohon galam (Malaleuce cajuputy) dan lain sebagainya. Sebagai tempat tinggal sementara selama mansan mereka mendirikan hubung (pondok) yang semua bahan bangunannya terdiri dari pohon galam. Begitu juga atap dan dindinghubung (pondok) terbuat dari kulit galam. Mereka meninggalkan kampung selama beberapa hari dengan membawa peralatan kerja, selain itu juga membawa keperluan pokok (bahan makanan) sebagai bekal mansan. Praktis selamamansan segala aktivitas dan pikiran tertuju untuk pekerjaan yang dihadapi, dan merelakan diri jauh dari keluarga serta kehidupan masyarakat. Sehingga nilaimansan berarti orang bekerja dengan sepenuhnya hati dengan mengisolasi diri.